Kamis, 27 September 2012

Guru SD di Sumba Barat Daya Tewas Ditelan Ombak
Pos Kupang - Rabu, 7 Maret 2012 | 10:26 WITA
Laporan Wartawan Pos-Kupang.Com, Petrus Piter

POS-KUPANG.COM, TAMBOLAKA -- Marselinus Lolo Muri (29), guru honor di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Kererobo, Desa Weelonda, Kecamatan Kota Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), mengalami nasib tragis. Berniat menangkap kepiting, ia malah tewas ditelan ombak pantai selatan.

Nasib serupa juga dialami Martinus Lede (23), warga Desa Watukawula, Kecamatan Kota Tambolaka, dan  Arilius Teni (18)  warga Desa Wee Rame, Kecamatan Wewewa Timur.

Keduanya tewas tenggelam Minggu (4/3/2012), sekitar pukul 01.00 dini hari, saat memancing ikan di Pelabuhan Feri Weekelo.

Marselinus Lolo  ditemukan tewas di perairan Kalakambe di Desa Kadi Pada, Kecamatan Kota Tambolaka, Senin (5/3/2012) sekitar pukul 10.00 wita.

Kapolsek Loura, AKP Kanisius Meno, ketika ditemui Pos Kupang di Weetabula-Tambolaka, Selasa (6/3/2012), menuturkan, Marselinus Lolo Muri (29), sang guru honor itu, ditemukan tewas di perairan Kalakambe, Desa Kadi Pada, Kecamatan Kota Tambolaka, Senin (5/3/2012), sekitar pukul 10.00 wita.

Ia menuturkan, korban bersama saudara iparnya, Minggu (4/3/2012) sore berniat mancing ikan di perairan Kalakambe, sekitar 5 kilometer arah barat Kererobo. Kondisi pantai tersebut berbatu karang nan terjal.

Beberapa saat setelah memancing, tuturnya, korban berniat turun ke laut untuk menangkap kepiting. Saat itu, iparnya sempat melarang. Sebab kondisi karang sangat terjal sementara gelombang laut pun amat dahsyat.  Namun saat itu, korban tetap nekat turun ke bibir laut. Ketika korban sudah berada di antara tebing,  tiba- tiba dihantam gelombang besar dan terseret arus. 

Saat itu, korban masih berusaha berenang untuk menyelamatkan diri. Melihat itu, iparnya membuang tali nilon dan sempat ditarik, tetapi putus. Tak kehilangan akal, iparnya kembali membuang baju agar dapat ditarik. Tapi usaha itu juga tidak membuahkan hasil. 

Saat itu, korban lalu berteriak minta saudaranya untuk memanggil warga sekitar agar datang membantunya. Dan, ketika saudaranya itu pergi menjauh mencari bantuan, korban pun hilang diseret arus. Ketika warga datang, mereka tak melihat lagi keberadaan korban. Korban telah hilang diterjang arus ganas.

Korban baru ditemukan keesokan harinya, Minggu (4/3/2012) sekitar pukul 10.00 Wita, terapung sekitar 100 meter dari lokasi kejadian.

Sementara itu, dua korban lainnya, masing-masing Martinus Lede (23) dan  Arilius Teni (18), lanjut Kapolsek  Kanisius Meno, tewas tenggelam di perairan Weekelo,  Minggu (4/3/2012) sekitar pukul 01.00 dini hari. 

Tentang ikhwal kejadian yang menimpa kedua korban itu, Kanisius menuturkan, pada Sabtu (3/3/2012) sore, keduanya  memancing ikan di Pelabuhan Feri Weekelo. 

Saat itu, korban Martinus Lede hendak memperbaiki tali pancing yang terlilit karang. Namun tiba-tiba korban terpeleset dan jatuh ke laut. Melihat kejadian itu, korban Arilius Teni langsung terjun ke laut, berusaha membantu sahabatnya itu. 

Sayangnya, Arilius Teni juga tewas tenggelam disapu gelombang besar. Kedua korban baru ditemukan Minggu (4/3/2012) pukul 6.30 Wita, tak jauh dari pelabuhan itu.

Atas kematian itu, aparat kepolisian lalu membawa ketiga korban ke Rumah Sakit (RS) Karitas Weetabula untuk dilakukan visum et repertum. Visum dilakukan, sebelum korban dibawa ke keluarga masing-masing.

Hasil visum menunjukan, ketiga korban meninggal dunia karena kecelakaan tenggelam. Selanjutnya, korban pun dibawa pulang keluarga masing-masing untuk dimakamkan.



Belasan Rumah Ludes Terbakar Dalam Kerusuhan Antar Warga di Sumba


TEMPO InteraktifKUPANG - Sedikitnya 16 rumah di kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), ludes dibakar warga Kecamatan Weweya Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, dalam kerusuhan yang melibatkan warga dua wilayah itu, Rabu (22/9).

Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu, namun kerugian diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah.

Kepala Kepolisian Resor Sumba Barat Ajun Komisaris Besar Polisi Yayat Jatmika mengatakan, aksi pembakaran terjadi ketika sekelompok warga Weweya Selatan melakukan pencarian seekor sapi dan kerbau yang hilang ke kampung Loli yang dibatasi dengan sungai.

Selain itu, ia menduga, kerusuhan dipicu dendam lama antara warga Lolis dan Waeya Selatan yang berada di perbatasan dua kabupaten itu. Tahun 1998 lalu, warga kedua daerah tersebut pernah terlibat perang tanding yang mengakibatkan ratusan rumah dibakar.

Menurut Yayat, aksi pembakaran diduga dilakukan sekelompok orang yang telah diskenario untuk memicu konflik antar kedua wilayah itu. "Saat pencarian terjadi sekelompok orang langsung membakar rumah warga di daerah tersebut. Saya menduga ada pihak ketiga yang sengaja membakar rumah milik warga," katanya ketika dibubungi TEMPO Rabu siang (22/9).

Dia mengatakan telah memanggil kedua belah pihak yang bertikai untuk menyelesaikan masalah secara damai. Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat perang tersebut. "Kedua pihak sepakat menggantikan rumah yang dibakar dan hewan yang hilang," ujarnya.

Dia menambahkan, situasi keamanan di wilayah konflik mulai kondusif, namun pihaknya masih menyiagakan satu peleton Brimob dan Dalmas dibantu Satuan Polisi Pamong Praja serta TNI untuk terus melakukan pengamanan di wilayah konflik.

Saat ini, lanjutnya, Bupati Sumba Barat Jubilate Pieter Pandango dan Bupati Sumba Barat Daya Kornelis Kodi Mete, sedang melakukan pertemuan untuk menyelesaikan konflik tersebut. "Kedua Bupati juga turun ke lapangan. Dan, saat ini sedang dilangsungkan pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini," paparnya. YOHANES SEO.

Kampung Tradisional Sumba Barat

Kabupaten Sumba Barat terletak antara 9 0 18’ - 10 0 20’ LS dan 118 0 55’ - 120 0 23’ BT. Di sebelah timur Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sumba Timur, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat Daya , sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumba. Secara topografi kabupaten ini terdiri dari dataran-dataran, gunung dan perbukitan yang semuanya menghasilkan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Secara klimatologi, kabupaten ini tidak jauh beda dengan daerah-daerah lain di Indonesia yakni memiliki musim kemarau yang oleh masyarakat setempat disebut maratana (mei/juni sampai dengan Oktober/Nopember) dan musim hujan beriklim tropis (semi arid) yang disebut rigghuta (desember/januari sampai dengan maret/april).

Masyarakat Sumba Barat umumnya membangun perkampungan tradisional mereka diatas bukit, hal ini berkaitan dengan keamanan, karena pada masa lalu sering terjadi peperangan antar suku memperebutkan daerah kekuasaan, sehingga tempat yang tinggi berfungsi sebagai benteng pertahanan. Selain itu pembangunan perkampungan di atas perbukitan juga dikaitkan dengan konsepsi pra sejarah yang menganggap bahwa semakin tinggi tempat tinggal maka penghuninya makin dekat dengan arwah leluhur dan dewa-dewa. 

Perkampungan di Sumba Barat pada umumnya dikelilingi pagar batu yang tersusun rapi serta dilengkapi dua gerbang utama : pintu masuk yang disebut bina tama serta pintu keluar yang disebut bina lou bungu atau bina teeso. Sebongkah batu yang telah diperciki darah hewan persembahan berdiri tegak di masing-masing gerbang sebagai simbol roh penjaga pintu (marapu bina). Ditengah- tengah kampung terdapat sebuah baai kecil yang dikeramatkan (bale kabubu) sebagai tempat sembahyang untuk memuja dan menghormati marapu. Dibeberapa kampung juga terdapat pokok pohon kering yang tumbuh di tengah-tengah kampung yang disebut pohon adung. Pohon tersebut dipercaya telah berusia ratusan tahun dan pada zaman dahulu dipergunakan untuk menggantung tengkorak kepala musuh.

Pola pembangunan rumah adat di kampung tradisional dibangun berjajar mengelilingi sebuah pelataran suci (natara poddu) tempat berlangsungnya upacara-upacara adat, bangunan suci (adung) berupa batu atau kayu yang dikeramatkan sebagai obyek pemujaan serta kuburan batu megalitik tempat arwah para leluhur bersemayam dalam kedamaian. 


Adapun bentuk rumah adat Sumba Barat apabila dilihat secara sekilas hampir mirip dengan rumah adat Joglo (jawa), dimana atap membumbung tinggi. Rumah adat ini dibangun tanpa menggunakan paku. Bagian-bagian rumah ditautkan satu sama lain menggunakan tali (kabare) atau rotan (uwe) yang diambil dari hutan. Rumah berbentuk rumah panggung dan ada yang menyebutnya sebagai rumah tiga alam karena secara vertikal terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

  • Toko Uma     : Bagian atas atau menara, tempat berdiam para roh
  • Bei Uma       : Bagian tengah bangunan sebagai tempat hunian manusia
  • Kali Kabunga : Kolong rumah tempat hewan peliharaan dan roh-roh jahat
Bagi masyarakat Sumba, rumah adat bukan hanya sekedar sebagai tempat tinggal namun juga berfungsi sebagai pusat kehidupan sosial dan seremonial mereka. Rumah-rumah tersebut bahkan mempunyai nama dan fungsi tersendiri yang biasanya berkaitan dengan tugas yang mereka jalankan saat berlangsungnya upacara adat. Nama dan fungsi rumah adat antara kampung satu dengan kampung lainnya biasanya berbeda, tergantung kondisi dan kebutuhan.

Problem Sumba


Problem Sumba
Data dari Susenas (Survei Kesehatan Nasional)/ UNFPA (United Nations Fund for Population Activities) menunjukkan kondisi kemiskinan di Wilayah Sumba masih tinggi, yakni 66,21%. Sedangkan malnutrisi atau gizi buruk masih terdapat banyak kasus. Angka kematian bayi (AKB) di Nusa Tenggara Timur (NTT), pada umumnya masih yang tertinggi di Indonesia : AKB anak laki-laki 56 /1000, anak perempuan 42,01 /1000. Angka kematian ibu (AKI) melahirkan tergolong tinggi di Asean yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup. Musim kemarau di Sumba yang selalu panjang menjadi penyebab kekeringan, sehingga ketersediaan air bersih pun menjadi salah satu permasalahan dengan segala akibatnya.
Berdasarkan survei yang dilakukan di empat unit pelayanan kesehatan (UPK): RS Kharitas Waitabula, BP Karitas Elopada, BP Karitas Hombakaripit, BP Karitas Katikuloku, penye-bab dari keadan tersebut (tingginya AKI dan AKB) adalah faktor kemiskinan dan tingkat pendidikan yang masih rendah.

Faktor kemiskinan
  1. Kemiskinan struktural dan sosial
  2. Prioritas penggunaan dana yang sangat dipengaruhi budaya
  3. Keterbatasan kepemilikan lahan
  4. Pola pertanian tradisional

Faktor perilaku dan adat
  1. Perilaku yang tidak sehat: judi, minum tuak
  2. Adat budaya yang mengikat dan memiskinkan
  3. Keputusan terlambat untuk pengobatan (tunggu nenek, bapak)
  4. Motivasi kurang/mental pasrah/daya juang kurang

Faktor pendidikan secara umum
  1. Pendidikan rendah (sehingga kurang bisa menangkap pesan2 kesehatan)
  2. Kurang pendidikan/ketrampilan untuk mengisi lowongan pekerjaan