Kamis, 27 September 2012


Kampung Tradisional Sumba Barat

Kabupaten Sumba Barat terletak antara 9 0 18’ - 10 0 20’ LS dan 118 0 55’ - 120 0 23’ BT. Di sebelah timur Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Sumba Timur, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat Daya , sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumba. Secara topografi kabupaten ini terdiri dari dataran-dataran, gunung dan perbukitan yang semuanya menghasilkan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Secara klimatologi, kabupaten ini tidak jauh beda dengan daerah-daerah lain di Indonesia yakni memiliki musim kemarau yang oleh masyarakat setempat disebut maratana (mei/juni sampai dengan Oktober/Nopember) dan musim hujan beriklim tropis (semi arid) yang disebut rigghuta (desember/januari sampai dengan maret/april).

Masyarakat Sumba Barat umumnya membangun perkampungan tradisional mereka diatas bukit, hal ini berkaitan dengan keamanan, karena pada masa lalu sering terjadi peperangan antar suku memperebutkan daerah kekuasaan, sehingga tempat yang tinggi berfungsi sebagai benteng pertahanan. Selain itu pembangunan perkampungan di atas perbukitan juga dikaitkan dengan konsepsi pra sejarah yang menganggap bahwa semakin tinggi tempat tinggal maka penghuninya makin dekat dengan arwah leluhur dan dewa-dewa. 

Perkampungan di Sumba Barat pada umumnya dikelilingi pagar batu yang tersusun rapi serta dilengkapi dua gerbang utama : pintu masuk yang disebut bina tama serta pintu keluar yang disebut bina lou bungu atau bina teeso. Sebongkah batu yang telah diperciki darah hewan persembahan berdiri tegak di masing-masing gerbang sebagai simbol roh penjaga pintu (marapu bina). Ditengah- tengah kampung terdapat sebuah baai kecil yang dikeramatkan (bale kabubu) sebagai tempat sembahyang untuk memuja dan menghormati marapu. Dibeberapa kampung juga terdapat pokok pohon kering yang tumbuh di tengah-tengah kampung yang disebut pohon adung. Pohon tersebut dipercaya telah berusia ratusan tahun dan pada zaman dahulu dipergunakan untuk menggantung tengkorak kepala musuh.

Pola pembangunan rumah adat di kampung tradisional dibangun berjajar mengelilingi sebuah pelataran suci (natara poddu) tempat berlangsungnya upacara-upacara adat, bangunan suci (adung) berupa batu atau kayu yang dikeramatkan sebagai obyek pemujaan serta kuburan batu megalitik tempat arwah para leluhur bersemayam dalam kedamaian. 


Adapun bentuk rumah adat Sumba Barat apabila dilihat secara sekilas hampir mirip dengan rumah adat Joglo (jawa), dimana atap membumbung tinggi. Rumah adat ini dibangun tanpa menggunakan paku. Bagian-bagian rumah ditautkan satu sama lain menggunakan tali (kabare) atau rotan (uwe) yang diambil dari hutan. Rumah berbentuk rumah panggung dan ada yang menyebutnya sebagai rumah tiga alam karena secara vertikal terbagi menjadi tiga bagian yaitu :

  • Toko Uma     : Bagian atas atau menara, tempat berdiam para roh
  • Bei Uma       : Bagian tengah bangunan sebagai tempat hunian manusia
  • Kali Kabunga : Kolong rumah tempat hewan peliharaan dan roh-roh jahat
Bagi masyarakat Sumba, rumah adat bukan hanya sekedar sebagai tempat tinggal namun juga berfungsi sebagai pusat kehidupan sosial dan seremonial mereka. Rumah-rumah tersebut bahkan mempunyai nama dan fungsi tersendiri yang biasanya berkaitan dengan tugas yang mereka jalankan saat berlangsungnya upacara adat. Nama dan fungsi rumah adat antara kampung satu dengan kampung lainnya biasanya berbeda, tergantung kondisi dan kebutuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar